CERPEN 1
Sulitnya mengatakan
“Taatlah kamu pada suamimu kelak “
Semua orang pasti menginginkan dapat
mempersunting wanita pujaannya, memimpikan tertawa bersamanya setelah itu,
serta memimpikan sama-sama berpikir untuk keluar dari masalah yang sedang
menerja mereka. Problem solving
yang tepat pada kedua belah keluarga mereka. Namun apa jadinya, ketika
semua itu tak terwujud. Setelah bertahun-tahun mereka persiapkan list-list
keseharian mereka, dan planning-planning lain yang sebelumnya mereka
pikir sudah sangat akurat. Namun pemilik semesta tak mengizinkan mereka bersatu, pemilik segala rencana tak meng-acc
proposal itu. Tidak.... bukan hanya tuhan tak meng-acc nya, bahkan tuhan tak
membaca proposal itu sedikit pun karena tuhan sudah tahu sebelum kurir proposal
(malaikat) mengantarkan propasal itu ke langit di seper tiga malam.
Kedua muda-mudi itu –yang awalnya-
memanjatkan ‘harap’ di setiap malamnya, baru-baru ini mereka ubah dengan cacian
pada tuhan. Cacian itu berbentuk gerungan dalam hati, yaaaa gerungan itu adalah
gerungan bentuk tak terimanya mereka atas keputusan tuhan. Mereka menganggap
tuhan tak mengerti dan tak
memperhitungkan proposal itu. Melihat dari cara tuhan tidakmeng-acc proposal
mereka (tak sedikit pun membacanya). Mereka lupa, proposal mereka itu ditujukan
pada Raja (bukan manusia). Mereka dibutakan oleh cinta. Cinta yang seharusnya
tumbuh karena-Nya, cinta yang seharusnya dibangun karena ketaatan, cinta yang
sebenar-benarnya cinta, yaitu cinta kepada-Nya yang rumusannya hanya
berlandaskan kepada yang memiliki semesta.
Sampai pada akhirnya –tak ada hujan tak
ada angin- cacian itu berhenti. Tak ada lagi cacian pada tuhan. Seakan semua
diterima mereka. Entah sparepart apa yang tuhan masukan pada hati
mereka. Akhirnya mereka menyadari, ada satu proposal yang SEHARUSNYA mereka
kirimkan sebelum proposal cinta mereka. Proposal itu adalah proposal CINTA-NYA.
Proposal ini berisi list-list ritual ibadah yang bentuknya merayu tuhan agar
proposal yang dikirim kemudian dapat di-acc. Satu sampai dua minggu
mereka berdua melakukan itu, tanpa ada berat hati, tanpa ada maksud apapun,
semua ikhlas karena mereka nyaman melakukan ritual-ritual ibadah itu. Sampai
suatu saat mereka lupa tujuan awal mereka melakukan bergabai ritual ibadah itu.
Deadline tentang jawaban tuhan pun sudah tiba saatnya. Diluar perkiraan,
ternyata Naya -yang mengikat janji akan menjalankan propasal cinta mereka
berdua- dilamar oleh satu pria yang sudah matang. Perkiraan umur mereka terpaut
4-6 tahun. Ibu Naya meng-iyakan lamaran itu. Pandu tak tahu apa yang terjadi,
karena ia masih sibuk berkomunikasi dengan tuhan.
Di satu hari, di satu meja kecil, meja
yang terbuat dari kayu yang sangat halus tingginya sekitar tiga hasta yang
dilengkapi bangku dengan tinggi satu setengah hasta, meja itu berbentuk persegi
cukup untuk menaruh beberapa tas. ditemani dua gelas susu sapi hangat dan roti bakar, dihadapan Pandu.. “a, maafkan
aku, aku sudah dilamar oleh seorang pria
dari kampung sebrang. Aku tak dapat menolaknya, ini perintah dari ibundaku”
ucap Naya dengan mulut yang bergetar –mulut yang seharusnya tersenyum disaat
hari pernikahannya kelak kdengan Pandu-. Pecahlah suasana saat itu, kelentengan
piring yang seharusnya terdengar keras melayani pesanan-pesanan di restoran itu
tak terdengar, suara bising tertawa dari para pegawai kantoran yang sedang
makan siang pun tak ayal seperti hilang senyap. Waktu seakan terhenti, semua
orang seperti halnya film-film drama action yang bergerak slow motion
yang di dalam adegan itu ada satu pria yang seketika duduk mematung, pikirannya
kosong entah kemana perginya.
Tangis pecah membasahi lengan bajunya
(bukan lagi wajahnya), kedua pasangan itu tak henti-hentinya tersedu-sedu,
entah bagaimana tangisan itu dapat berhenti.
“aku ingin dua hari terakhir ini kita bisa habiskan sisa waktu bersama”
ucap Naya -sambil terus mengusap air matanya yang tak henti mengalir membasahi muka-.
Pandu masih duduk mematung dengan tatapan kosong, bahkan mungkin ucapan Naya tak
terdengar di telingnya. “aaa... a....” sayup-sayup suara itu kali ini terdengar
oleh Pandu. “a!!!!” sambil menyenggol lengan Pandu akhirnya pria itu
tersadarkan dari lamunannya. “iya iya? Kenapa?”. “besok dan lusa adalah hari terakhirku
disini, setelah itu aku harus pergi ke negri sebrang untuk mempersiapkan
pernikahanku dengan lelaki itu”. “iya... iya... aku usahakan”.
Hari itu tiba mereka berdua pergi ke salah
satu pantai di pulau jawa. Yaaa... pantai, tempat yang belum pernah mereka
kunjungi selama bertahun-tahun menjalin hubungan. Mereka sudah sepakat untuk
tidak membahas tentang rencana pernikahan itu, pernikahan yang seharusnya
menjadi wujud cinta mereka malah sekarang harus terjadi untuk pria lain.
Perjalanan ditempuh sekitar empat jam. Diatas kendaraan mereka bercerita
tantang awal mula pertemuan mereka. Suka-duka yang sudah mereka lalui. Diatas
kendaraan itu pula mereka tertawa dan bercerita. Kendaraan itu menjadi saksi
bisu akan cinta mereka berdua meskipun akhirnya mereka harus berpisah pada
akhirnya.
Sesampainya di pesisir pantai terlihat
raut wajah riang serta sedih di wajah sang wanita. Riang karena cita-citanya
terwujud untuk mengunjugi pantai di negri orang. Walau tak seindah pantai di
negrinya, namun pantai itu nampak spesial karena ia kunjungi bersama orang yang
sangat amat ia sayangi. Sedih, karena itu pantai pertama dan terakhir yang akan
ia kunjungi bersama dengan orang yang ia sayang. Mungkin tuhan tak-kan meng-acc
hal ini untuk kedua kalinya. Dan mungkin ini adalah hadiah dari tuhan untuk
kedua pasangan ini karena mereka sudah berusaha merayu-Nya beberapa waktu lalu
dengan ritual-ritual ibadahnya.
Menatapi langit dan laut, yaa... itulah
yang mereka lakukan saat itu. Hal apa lagi? Mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan disana, walaupun perjanjian untuk tak boleh membahas masalah rencana
pernikahan itu bisa terjadi, mengapa terjadi, dan mengapa tak ada sedikit pun
penolakan dari keluarganya, tapi tak dapat dibohongi bahwa hati mereka berdua
membicarakan tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai pada akhirnya......... .
“maafkan aku a, aku sudah melanggar janji kita, aku sudah menghancurkan impian
kita, aku sendiri yang sudah merobek dan membakar proposal yang sudah kita
kirimkan pada tuhan setiap malam kita. Aku bodoh, seandainya aku menolaknya,
seandainya aku bisa berontak, seandainya aku memiliki keberanian itu........”
kata itu keluar begitu saja saat mereka sedang menatap laut yang mengirimkan
ombaknya ke bibir pantai. Pandu terdiam, ia tak tahu apa yang harus ia katakan
untuk membalas ungkapan itu. Terlalu berat rasanya menggerakan mulutnya di saat
suara desir ombak yang merdu diiringi sejuknya angin laut, ia tak ingin melewatkan
sedetik pun kenikmatan yang tuhan berikan lewat pantai itu.
“tidak, itu bukan salahmu Naya. Itu adalah
kepuutusan tuhan. Mungkin ini adalah efek dari ritual ibadah kita. Tuhan
menyayangi kita, tuhan ingin melihat lagi kisah apa yang akan kita torehkan
dalam lembaran buku hidup kita ini. aku tak mengapa, aku baik saja. Aku bersyukur
pada tuhan sudah menghadirkan kepadaku sosok wanita baik sepertimu. Aku banyak
belajar darimu”. Itulah balasan terindah dari seorang pria. Pandu sangat bangga
pada dirinya, dia sudah mengeluarkan kalimat yang memang seharusnya keluar dari
mulutnya, kalimat yang sama sekali tidak menyalahkan siapapun. Kali ini ia
tidak menggerutu pada tuhan. Ia bisa menerimanya dengan lapang dada.
”aku takut, aku takut tidak bisa menjadi
istri yang baik untuk suamiku kelak. Aku tidak mencintainya, ini bukan
pernikahan yang aku inginkan. Apa tuhan akan menghukumku untuk hal ini?”.
Sambil masih tetap menangis, Naya melontarkan kata-kata penyesalan lagi.
“berusahalah Naya, aku akan tetap selalu mendoakanmu. Tuhan akan tersenyum
melihat usahamu. Ini adalah rules of the game yang tuhan berikan
untukmu. Tuhan lebih menyayangimu Naya. Berusahalah taat pada suamimu”.
Kata-kata terlarang itu dengan sulit akhirnya dapat keluar dari mulut pria yang
sanagat menyayangi Naya, ia sudah tak menmikirkan perasaannya, yang ia pikirkan
saat itu adalah bagaimana ia bisa meyakinkan Naya bahwa tuhan akan selalu
bersamanya.
Naya bangkit dari duduknya, ia berjalan ke
arah bibir pantai. Ia berteriak sekencang-kencangnya, melepaskan ganjalan dalam
hatinya dengan berteriak. Pantai memang tempat yang sangat pas untuk itu, Naya
bisa melakukan sesuka hatinya. Dari ujung lain pandu pun berteriak, ia tak
ingin beban itu tak terlepaskan ketika mereka beranjak pulang. Pandu pun
menuliskan namanya dan nama Naya di atas pasir pantai. Pantai itu sudah menjadi
saksi bisu, bahwa Pandu sudah berkembang menjadi individu yang lebih baik,
setidaknya ia sudah bisa menerima satu takdir terberat dalam hidupnya.
Hari sudah gelap, mereka harus segera
beranjak pulang, terlebih Naya belum mengemas barang-barangnya untuk esok hari.
Naya berpesan pada Pandu agar Pandu dapat menemaninya sampai mobil travel
mengantarkannya ke bandara kota setempat. Pandu meng-iyakan permintaan Naya.
Sebelum pulang mereka meminum air kelapa segar, minuman favorit mereka berdua.
Di perjalanan mereka tertawa kembali, mereka memandangi pohon-pohon besar
dipinggiran jalan, memandangi tiap-tiap rumah yang mereka lewati. Sesekali Naya
menghayal bahwa mereka bedualah yang berada dalam rumah itu, bercengkerama
dengan tetangga-tetangga, dll. Membuka lis-list proposal yang sudah mereka buat
sebelumnya, yang sekarang proposal itu entah dimana tuhan menyimpannya.
Samapai di MES, Pandu menunggu Naya mengemas
barang-barangnya. Satu dua teman-teman Naya menghampiri Naya, mengucapkan salam
perpisahan untuk Naya yang sebentar lagi tidak akan terlihat di MES untuk
selama-lamanya. Tak lupa Naya berpamitan dengan seluruh staff di MES nya. Air
mata kembali membasahi wajah Naya. Ia harus melepaskan semuanya saat itu,
melepaskan teman-temannya, melepaskan segala perjuangannya di tanah rantau
untuk sebuah panggilan yanng tak boleh ia tolak, perintah dari orang tuanya.
Naya dan Pandu beranjak pergi, membawa barang-barang Naya menuju pool
bis yang akan mengantar Naya ke bandara setempat. Kali ini, perjalanan meuju pool
sangat hening, tak ada pembicaraan dengan Pandu. Yang terdengar hanya suara
bising kendaraan-kendaraan lain. Pandu berharap tak ada lagi tangis untuk detik-detik
terakhir bersama Naya hingga Naya duduk di kursi Bis.
“Pandu, kamu tidak inginn mengucapkan
sesuatu untuk terakhir kalinya kepadaku? Katakanlah!” ucap Naya tiba-tiba saat
mereka duduk di tempat tunggu pool.
Pandu hanya tersenyum kepada Naya “tidak, tidak ada Naya”. “tidak ada?
Ini terakhir kalinya aku ada di kota ini. Kita tidak akan bertemu lagi”. “tidak Naya. kalaupun ada yang ingin aku
sampaikan, kamu pasti mengetahui itu”. Naya dan Pandu sudah mengerti satu sama
lain. Mereka bahkan layaknya induk kucing yang mengerti ketika anaknya
kelaparan, tak perlu menunggu anaknya mengeong dia sudah beranjak mencari
makan”.
“keberangkatan menuju bandara Surya
Kencana. Penumpang segera merapat ke lajur 3!” suara pemeritahuan dari speaker
seakan menjadi suara bencana bagi mereka berdua, yaaa.. bencana besar yang
hanya mereka berdua yang merasakannya. Pandu membantu mengangkat barang-barang
milik Naya ke bagasi bis. Untuk terakhir kalinya, mereka bertatapan, Pandu
memberikan sepucuk surat untuk Naya. Naya hanya tersenyum sembari berjalan
menuju tangga bis. “terimakasih a, semoga kamu baik-baik saja. Tetap semangat
untuk mencapai cita-citamu, maaf aku hanya bisa menemanimu sampai disini”.
Pandu tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca dan sambil melambaikan tangannya,
tanda perpisahan selamat jalan. Bis pun sudah mulai bergerak meninggalkan pool.
Pandu dengan sigap berlari menuju kendaraannya, segera menyalakan dan mengikuti
bis dari belakang. Ia ingin menemani Naya sampai pintul tol kota. Di jalan,
Pandu tidak bisa melihat Naya karena kaca bis itu terlihat gelap dari luar.
Pandu hanya berharap Naya sadar bahwa Pandu menemaninya di luar bis. Samapi
dekat tol kota. Pandu melambaikan tangannya ke jendela, jendela yang gelap,
bahkan Pandu tak tahu apakah Naya duduk di samping kaca itu dan melihatnya. Bis
melesat memasuki gerbang tol kota, air mata Pandu pecah, ia menepikan
kendaraannya, menangis sejadi-jadinya tak peduli orang lain memperhatikannya.
Selamat tinggal Naya, selamat tinggal semua kenangan, selamat tinggal senyuman
manis Naya yang tak akan pernah Pandu lihat lagi, dan terimakasih kepada alam
yang sudah menemani kisah mereka berdua. Taatlah Naya..... taatlah pada suamimu
kelak.
first
ReplyDelete